Raden Rahmatullah lahir
di negeri Cempa pada tahun 1401 M. Putra dari seorang ibu yang bernama
Dewi Candrawulan putri dari Raja Cempa.
Adapun ayahnya bernama Ibrahim Al-Ghazi, seorang ulama besar dari
Samarqandi dekat Bukhara, sebuah daerah yang terletak di wilayah Rusia
Selatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah tersebut terkenal sebagai
tempat kelahiran ulama besar ulama termasyhur sebagai perawi hadis
shahih, yaitu Imam Bukhari.Menurut riwayat, bahwa Ibrahim Al-Ghazi atau sering disebut sebagai Ibrahim Asmaraqandi, datang ke ke Negeri Cempa untuk menyebarkan agama Islam ke negara-negara Asia atas perintah ayahnya yang
bernama Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra.
Di Negeri Cempa beliau berhasil mengajak Raja Cempa masuk Islam, dan akhirnya beliau dikawinkan dengan Putri Raja Cempa yang bernama Dewi Candarawulan.
Cempa adalah suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja (Indocina), tetapi ada yang mengatakan bahwa negeri itu terletak di daerah Aceh yang sekarang dinamakan Jeumpa.
Perkawinannya dengan Dewi Candrawulan itu, Ibrahin Asmaraqandi mempunyai dua orang anak yaitu: Ali Murtala dan Ali Rahmatullah (Raden Rahmat).
Adapun Putri Raja Cempa yang bernama Dewi Anarawati atau sering disebut Dwarawati Adiknya Dewi Candrawulan, menjadi Istri Raja Majapahit yaitu Prabu Kertabumi atau dikenal dengan sebutan Prabu Brawijaya.
Pada saat itu Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan terbesar di Jawa, namun kondisi kerajaan dalam keadaan yang semarawut baik di dalam maupun di luar, lebih-lebih sepeninggal Mahapatih Gajahmada dan Prabu Hayam Wuruk, Kerajaan menjadi pecah belah, perang saudara tiada henti-hentinya dan rakyat kecil banyak yang menjadi korban akibat perang tesebut.
Sementara kerajaan-kerajaan lain yang sudah ditaklukkan Mahapatih Gajahmada sudah banyak yang memisahkan diri baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.
Kesetiaan para pembesar kerajaan dan para Adipati sudah mulai luntur, sehingga pajak dan upeti kerajaan banyak yang tidak sampai ke tangan kerajaan, melainkan tertahan dan bertumpuk di kediaman para pembesar dan para adipati.
Dengan demikian, tumbuhlah dengan subur kejahatan yang merajalela dimana-mana. Banyak terjadi pencurian dan perampokan. Bahkan banyak terjadi kesatuan-kesatuan prajurit yang melepaskan diri dan beralih menjadi perampok, merampas harta penduduk dan memperkosa para wanita.
Sedangkan di kalangan kaum bangsawan dan para pangeran juga terjangkit penyakit moral. Mereka hanyut dalam perjudian dan bermabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sangat perihatin melihat keadaan ini, karena ia menyadari jika keadaan ini tidak bisa diatasi akan mengakibatkan hancurnya kerajaan.
Ratu Anarawati juga ikut prihatin melihat keadaan tersebut. Ia ikut merasakan kesedihan hati sang suami yang setiap hari selalu termenung memikirkan bagaimana cara mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk itulah Ia mencoba mengajukan saran kepada suaminya, Prabu Brawijaya, yaitu dengan mendatangkan dan menerima Ali Rahmatullah salah seorang kemenakannya yang saat itu tinggal di Negeri Cempa.Setelah menghaturkan sembah dan mengajukan saran, ternyata Prabu Kertabumi sangat setuju dengan saran yang diajukan istri tercintanya itu. Semua tutur kata dan saran Dewi Anarawati di perhatikan dengan seksama. Dalam pikiran sang Prabu Kertabumi membenarkan apa yang dikatakan oleh istrinya bahwa kalau manusia sudah bermental judi, maka kejahatan seperti perampokan, pencurian dan korupsi akan merajalela, dan bermabuk-amabukan dapat menjadikan manusia lupa diri, bahkan lupa segala-galanya sehingga akan dengan mudah membongkar yang sifatnya rahasia mulai yang sifatnya pribadi sampai kepada rahasia negara.
Kemudian Prabu Kertabumi meminta pendapat kepada Istrinya bagaimana jalan keluarnya untuk membrantas semua itu. Maka Dewi Anarawati menghaturkan sembah: Ampunkan hamba Prabu… barangkali tuan berkenan, hamba mempunyai seorang kemenakan yaitu putra dari kakak hamba Dewi Candrawulan yang bernama Ali Rahmatullah, dia ahli dalam memperbaiki moral yang rusak seperti itu.
Setelah ada kesepakatan, maka dikirimlah utusan ke negeri Cempa untuk menemui dan meminta Raja Cempa agar berkenan mengirmkan cucunya ke Majapahit. Kedatangan utusan dari Majapahit itu mendapat sambutan yang baik dan Raja Cempa pun tidak keberatan meluluskan permintaan mereka itu.
Sayyid Ali Rahmatullah berangkat ke tanah Jawa ditemani oleh ayah dan kakaknya. Mereka bertiga terlebih dahulu mendarat di daerah Tuban. Tetapi sayang sekali sesampainya di Tuban ayahnya, yaitu Sayyaid Ibrahim Asmaraqandi jatuh sakit sampai wafat dan dimakamkan di desa Gesik Harja. Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban Jawa Timur.
Sedangkan kakak Sayyid Ali Rahmatullah yaitu Sayyid Ali Murtala meneruskan perjalanannya berdakwah keliling daerah nusantara, mulai Madura sampai Bima. Di Bima beliau mendapat sebutan Raja Pandeta Bima, akhirnya beliau berdakwah di Gresik dan mendapat julukan Rade Santri. Beliau wafat dan dimakamkan di Gresik.
Adapun Sayyid Ali Rahmatullah juga meneruskan perjalanannya sesuai tujuan semula yaitu Kerajaan Majapahit dan menghadap Prabu Kertabumi sesuai dengan permintaan Ratu Dewi Anarawati.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ayyid Ali Rahmatullah yang tinggal beberapa waktu di kerajaan Majapahit, kemudian dikawinkan dengan Dewi Candrawati putri Raja Majapahit. Oleh karena itulah beliau sering dipanggil “Raden Rahmat”, karena beliau sebagai menantu Raja Majapahit.
Prabu Kertabumi senang dan suka sekali mempunyai menantu Raden Rahmat, karena tutur kata dan sifatnya yang lemah lembut. Maka sang Prabu Kertabumi memberikan hadiah sebidang tanah di Ampeldenta Surabaya.Setelah bertempat tinggal di Ampeldenta, langkah pertama yang dilakukan adalah membangun Masjid dan selanjutnya membangun pesantren. Hal itu dilakukan oleh beliau terkait dengan tugasnya sebagai seorang guru yang mengajarkan budi pekerti kepada para pembesar kerajaan dan para Adipati. Sedangkan para anak-anak pejabat dan bangsawan diperintahkan tinggal di pesantren Ampeldenta untuk menekuni belajar budi pekerti kepada Raden Rahmat. Selain itu juga diperkenankan bagi masyarakat awam siapa saja yang ingin belajar.
Ajaran Raden Rahmat
Karena beliau bertempat tinggal dan menetap di Desa Ampeldenta dan menjadi penguasa di sana, maka ia dikenal sebagai Sunan Ampel, yang artinya Sesuhunan atau panutan masyarakat. Semakin lama bertambah banyak orang yang menimba ilmu kepada beliau , tidak hanya dari kalangan bangsawan Majapahit saja, bahkan dari kalangan masyarakat umum pun juga tidak kalah banyaknya.
Adapun ajaran beliau yang sangat terkenal adalah Falsafah MO-LIMO yang artinya “MO” adalah ora gelem (tidak mau) dan “LIMO” artinya perkarfa lima. Jadi maksud dari kata MO-LIMO ialah tidak mau melakukan perkara lima yang dilarang, yaitu:
- Emoh Main atau tidak mau main (judi)
- Emoh Ngombe atau tidak mau minum-minuman yang memabukkan
- Emoh Madat atau tidak mau minum/menghisap candu atau ganja dan sejenisnya
- Emoh Maling, atau tidak mau mencuri dan korupsi
- Emoh Madon, Atau tidak mau main perempuan yang bukan istrinya (berzina)
Setelah nampak hasil dari didikan Raden Rahmat, Prabu
Barawijaya merasa sangat gembira sekali. Dan iapun sangat bangga
mempunyai menantu seperti Raden Rahmat itu, karena dapat membantu
memperbaiki budi pekerti para putra bangsawan. Para Adipati dan para
Kawula, sehingga keadaan kerajaan Majapahit menjadi tenang kembali.
Sebenarnya Prabu Brawijaya menyukai pada ajaran itu, dalam hati dan pikirannya mengatakan, Islam adalah agama yang baik dan agama yang mempunyai didikan budi pekerti luhur.
Oleh karena itu, ketika Raden Rahmat mengumumkan bahwa
ajaran itu adalah agama Islam, sang Prabu pun tidak marah. Akan tetapi
ketika Raden Rahnat mengajaknya masuk Islam sang Prabu tidak bersedia
dan mengatakan sangat berat rasanya untuk meninggalkan agama Budha yang
sudah mendarah daging pada dirinya.
Walaupun demikian, sang Prabu tetap memberikan kebebasan
kepada menantunya itu untuk menyiarkan agama Islam kepada siapa saja,
tetapi dengan syarat bagi mereka yang tidak berkenan jangan dipaksa.
Raden Rahmat mengatakan kepada Raja, bahwa ia tidak mengislamkan manusia, tetapi hanya sekedar menyampaikan ajaran islam kepada manusia.
Maka apa yang dipersyaratkan oleh Raja sudah sesuai dengan ajaran
Islam, yaitu manusia bebas memilih agama yang cocok untu menusia itu
sendiri. Tidak ada paksaan dalam memilih agama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, sebagai mufti
atau pemimpin Islam setanah Jawa, yakni menjadi sesepuh Wali Songo
digantikan oleh Sunan Ampel (Raden Rahmat).
Keberhasilan Sunan Ampel dalam mendidik seperti misalnya adanya beberapa santri dan putranya yang akhirnya menjadi anggota Wali Songo, seperti Sunan Giri dan Sunan Kalijaga, serta putranya sendiri yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
Jasa Sunan Ampel yang besar ialah dengan berdirinya kerajaan Demak Bintara, yang tiada lain beliaulah orang pertama yang mempunyai gagasan untuk itu. Kerajaan Demak adalah merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa yang dipimpin seorang raja yaitu Raden Patah, salah seorang murid dan sekaligus menantu Sunan Ampel sendiri. Raden Patah juga putra dari Prabu Brawijaya dengan istri dari Cina, yang bernama Dewi Kian yang kemudian diberikan kepada Adipati Arya Damar di Palembang, setelah Prabu Brawijaya mendapat istri lagi dari Cempa yaitu Dewi Anarawati bibi Sunan Ampel.
Oleh sebab itulah, ketika beberapa wali
mengusulkan agar Kerajaan Bintara Demak menyerbu Majapahit, Sunan Ampel
menyatakan ketidak setujuannya. Karena menurut Sunan Ampel, hal itu
akan membuat cemar nama Islam di Jawa khususnya … dan lagi apa kata
orang nanti, tidakkah Raden Patah akan menjadi anak yang durhaka, bila
sampai terjadi penyerangan dan merebut tahta orang tuanya sendiri.
Dibangunnya masjid Demak yang berdiri pada tahun 1477 M
itupun Sunan Ampel juga ikut berperan dalam perancangan proyek
pembangunannya. Hal itu dapat dilihat pada salah satu diantara empat
tiang utama masjid itu diberi nama sesuai dengan pendirinya ialah Sunan
Ampel.
Keturunan Sunan Ampel
Raden Rahmat yang tinggal di Ampeldenta
itu, semakin lama semakin bertambah harum namanya dikalangan masyarakat
maupun bangsawan pembesar-pembesar kerajaan dengan sebutan Sunan Ampel.
Pada suatu hari Raden Rahmat akan mengambil air wudu,
tiba-tiba disungai itu nampak oleh beliau sebuah delima terapung-apung
dipermukaan air, tanpa berpikir panjang diambillah delima itu. Rupanya
setan telah membuatnya lupa. Sehabis mendirikan salat, delima itu di
makannya, tetapi setelah tinggal separoh, barulah beliau teringat dan
menyesal, karena telah terlanjur memakan delima yang belum mendapat izin
dari pemiliknya.
Karena itu beliau menyusuri tepian sungai mencari siapa
orang yang punya delima itu untuk dimintai kerelaan hatinya. Di suatu
tempat, di tepian sungai itu, beliau bertemu dengan Ki Ageng Supa (Sunan
Bungkul) yang baru saja datang dari hulu sungai.
Setelah keduanya bercakap-cakap, ternyata buah delima
itu milik Ki Ageng Supa yang sedang di cari-carinya. Maka Raden Rahmat
pun meminta maaf dan memohon agar Ki Ageng Supa menghalalkan delima yang
telah terlanjur dimakannya itu. Tetapi Ki Ageng Supa tidak mau
memaafkan dan menghalalkan, dikatakan bahwa karena buah delima itu
adalah milik putrinya yang sekarang sedang menagisi hilangnya delima
tersebut. Raden Rahnat merasa sedih sekali, karena beliau selalu
teringat sabda Nabi SAW yang mengatakan: tidak akan masuk surga darah
dan daging seseorang yang terjadi dari makanan yang haram.
Sesaat kemudian Raden Rahmat menyatakan kesanggupannya
mencarikan delima yang lebih besar dan bagus daripada itu sebagai
gantinya. Walaupun demikian Ki Ageng Supa tetap tidak mau memaafkan,
karena delima yang dimakan Raden Rahmat itu adalah buah delima
kesayangan putrinya.
Lalu bagaimana maksud Ki Ageng? Tanya Raden Rahmat penuh
keheranan. Dalam hati Raden Rahmat berkata: kenapa tiba-tiba saja Ki
Ageng Supa bersikap demikian kepadaku, hanya perkara sebuah delima ia
tidak mau memaafkan, padahal Ki Ageng Supa adalah muridnya.
Akhirnya Ki Ageng Supa (Sunan Bungkul) mengatakan mau memaafkan asal dengan syarat Raden Rahmat bersedia menjadi suami anaknya yang kehilangan delima itu. Namanya Siti Karimah seorang anak gadis yang tuli, bisu dan lumpuh. Setelah mendengar ucapan Ki Ageng Supa itu, Raden Rahmat sangat terkejut, kenapa sampai menjadi demikian parah masalahnya, hanya soal delima satu saja harus menikah dengan seorang gadis yang semacam itu. Pikir punya pikir… akhirnya Raden Rahmat pun menyerah kepada keputusan Ki Ageng Supa.
Ki Ageng Supa hatinya merasa lega, maka diajaklah Raden
Rahmat ke rumahnya dan diperlihatkan kepada Siti Karimah calon istrinya.
Mula-mula Raden Rahmat mengira bahwa Ki Ageng Supa main-main, karena
anak gadis yang diperlihatkan kepada beliau ternyata tidak seperti yang
diceritakan tadi. Lalu Raden Rahmat menanyakan maksud Ki Ageng Supa yang
sebenarnya. Ki Ageng Supa tersenyum dan menjelaskan yang dimaksud bahwa
anaknya tuli, bisu dan lumpuh, adalah anaknya tidak pernah mendengar
dan melihat serta tidak pula melangkahkan kakinya kepada kemaksiatan.
Mendengar keterangan Ki Ageng Supa itu, Raden Rahmat
tersenyum, dan setelah beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah
perkawinan antara Raden Rahmat dengan Siti Karimah putri Sunan Bungkul.
Kini Sunan Ampel mempunyai dua orang istri. Dengan istri
pertama yaitu Dewi Candrawati putri Raja Majapahit, beliau mempunyai
beberapa putra dan putri yaitu:
- Raden Makdum Ibrahim Menjadi Sunan Bonang
- Raden Qasim Menjadi Sunan Drajat Sedayu
- Raden Ahmad Menjadi Sunan Lamongan
- Siti Muthmainnah Menjadi Istri Sunan Gunung Jati
- Siti Syariah Menjasi Istri Sunan Kudus
- Siti Khafshah Menjadi Istri Sunan Kalijaga
- Dewi Murthasiah Menjadi Istri Sunan Giri
- Dewi Murthasimah Menjadi istri Raden Patah Raja Demak
Legenda Unik Sebuah Masjid
Membicarakan
Masjid Ampel, kita akan membicarakan banyak keunikan, antara lain
bengunannya. Masjid ini dibangun oleh Sunan Ampel pada tahun 1421 M.
luas bangunan mulanya berukuran 46,80 m X 44,20 m atau 2.068,56 m2.
“Pada awalnya tanahnya sangat luas. Tanah ini merupakan
hadiah dari kerajaan Majapahit. Luasnya antara sungai Kalimas dengan
anak sungainya,” ungkap Ustadz Zulhilmy, Imam Masjid Sunan Ampel.
Waktu pembangunan konon sangat cepat. Masjid Ampel
mempunyai bentuk yang khas bangunan Jawa. Akibatnya berbentuk kerucut.
Sedang disebelahnya berdiri menara yang megah. Menara ini sangat antik,
mengingat gaya dan modelnya khas. Memasuki jauh kedalam masjid, kita
akan melihat arsitektur dari teknis bangunan yang luar biasa. Tiangnya
berjumlah enam belas, masing-masing mempunyai panjang 17 meter dan
berdiameter 0,4 meter.
Yang membuat kita takjub adalah tiang-tiang tersebut
tanpa sambungan. Perluasannya pun pernah dilakukan. Pada 1926 di bawah
Adipati R. Aryo Niti Adiningrat, diperluas menjadi 466,48 m2. Sedangkan
pada 1954 diperluas lagi menjadi 1,885 m2. Perluasan ini dipimpin KH
Manab Murtadlo. Pada 1972 Ketua DPR/MPR waktu itu, KH. Idham Khalid
meletakkan batu pertama perluasan masjid Ampel. Lalu di bawah pimpinan
KH Nawawi Muhammad, A. Khafidz Majid dan H. Abdul Karim mulailah
pembangunan masjid secara menyeluruh.
Kisah-kisah Unik
Di samping arsitekturnya juga banyak cerita-cerita
mistis di balik pendirian bangunan suci ini. Salah satunya adalah
penetapan arah kiblat. Peristiwa itu berkaitan nama murid kesayangan
Sunan Ampel yang bernama Sonhaji. Murid ini kemudian terkenal dengan
panggilan Mbah Bolong.
“Sewaktu membangun masjid, Sonhaji ini pernah ditanya, lho kok kiblatnya menghadap ke sini? Dengan mengusap-usap tembok, muncul lubang yang menganga, di situ terlihat Ka’bah dengan jelas,” ungkap Ustadz Zulhilmy.
Lain lagi dengan cerita Mbah Sholeh.
Murid Sunan Ampel yang satu ini membersihkan masjid. Ia diyakini pernah
mati dan hidup lagi. Tidak main-main, proses itu berlangsung hingga
sembilan kali. Tak heran kalau makamnya juga berjumlah sembilan.
Letaknya di utara serambi masjid.
“Kalau kita bercerita tentang mbah Sholeh, ada dua
versi: Versi yang pertama, menceritakan sewaktu meninggal mbah Sholeh
melihat masjid kotor, dia kemudian hidup lagi. Sedangkan versi lain,
Mbah Sholeh hidup lagi kalau ada persoalan yang menimpa masyarakat Islam
waktu itu, kejadian itu berlangsung sampai sembilan kali,” cerita
salah seorang pengunjung.
Kedua orang ini adalah murid setia Sunan Ampel. Bahkan
ada yang mensyaratkan jika berziarah ke Sunan Ampel, lebih afdol kalau
menziarahi makam keduanya sekaligus.
Pengunjung akan banyak ketika malam Jum’at Legi tiba,
dan pada 27 Ramadhan. Hal itu akan semakin membeludak ketika Haul Sunan
Ampel pada Jumadil Akhir. Di dalamnya biasanya ada semacam ritual
khusus. Para kiai dan habaib berjalan melakukan napak tilas Sunan Ampel.
Mereka berjalan kaki sambil diiringi Rebana.
Ayat-ayat Al-Qur’an terdengar menambah hikmat suasana.
Tampak para anak-anak, orang muda, kaum tua yang saling melafadzkan
kalimat Allah dengan penuh semangat. Di sisi lain, bagaikan sebuah Koor
puluhan melantunkan tahlil di depan makam Sunan Ampel. Waktu kian bergulir. Senandung Al-Qur’an tak henti-hentinya menyirami tempat suci kekasih Allah ini.
(Tulisan ini disarikan dari buku kisah Wali Songo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, karya Baidlowi Syamsuri, 1995)
0 komentar:
Posting Komentar