Inilah pelita paling terang yang pernah ditemui Aminah. Sinarnya melebihi cahaya matahari namun disertai kaharuman daun-daun di pagi hari. Sungguh, kelahiran Muhammad telah mengembalikan senyum dan tawa di wajah Aminah. Moment kebahagiaan itu telah hadir sempurna dalam kisah hidupnya. Ibunda yang tengah dilanda senyum menikmati wajah menakjubkan anaknya.
Aminah melewati hari-harinya bersama Muhammad dengan kebahagiaan melangit. Seakan tak ingin sebantar pun ia meninggalkan bayinya. Muhammad adalah belahan jiwanya. Sumber kekuatan hidup dan harapan. Aminah sungguh ingin mengasuh Muhammad dengan dua tangannya sendiri. Kendati keinginan itu bukanlah suatu kelaziman bagi bangsa Arab pada masa itu. Adat mereka mengharuskan para ibu dari kaum bangsawan berpisah dengan bayi-bayinya untuk disusui perempuan dari pedalaman. Sebuah kebiasaan yang sulit untuk dipahami oleh bangsa, suku bahkan manusia lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bahwa ketika itu Muhammad kecil hidup di perkampungan kabilah bani Sa’ad bersama ibu susu Halimah. Disinilah beliau menghabiskan masa kecilnya yang bersahaja dengan keriangan dan canda tawa yang membahana. Menghirup udara pedalaman yang segar, menyerap udara gurun membangkitkan imajinasi ditambah tantangan alam bebas yang melecut kekuatan fisik dan emosinya.
Bersama saudara-saudara sesusuannya seperti Syaima’, Abdullah dan Anissa, Muhammad menghabiskan masa kecilnya jauh di pedalaman sana. Mereka tetap bersama-sama menyaksikan hewan gurun yang eksotis atau berlarian di antara pepohonan yang tumbuh subur di bukit-bukit. Mereka juga pergi bersama-sama menggembala kambing sambil berlarian dan tertawa-tawa. Muhammad kecil menikmati cinta Halimah yang tulus dan kasih sayang saudara sesusuannya yang berwarna warni. Semua itu tercurahkan pada diri Muhammad, terus-menerus.
Jiwa suku Badui yang merdeka, memberi pengaruh besar pada kepribadian Muhammad. Kelak, beliau akan dikenal sebagai nabi yang amat egaliter sekaligus tegas. Sebuah paduan sifat yang amat sulit bila bukan pribadi itu amat istimewa. Pada kenyataannya, sifat orang Badui yang muruwwah atau jantan adalah dasar katakteristik Badui. Sifat ini menggambarkan keberanian bertempur, sabar dalam kekalahan, tenang dan tak cepat marah. Orang badui juga ramah tamah, pemurah bahkan cenderung gila memberi, mereka akan selalu gembira menyambut dan membagi makanan dengan kelana yang mampir. Semua sifat ini menjadi satu nilai sosial yang melapisi watak para Badui.
Lebih dari soal alam padang pasir atau air susu ibu, tradisi pengasuhan ini pun dipicu oleh keinginan agar anak-anak mereka menguasai bahasa Arab tingat tinggi dengan baik. Seperti bahasa Badui pedalaman. Lebih dari itu, bahasa yang dipergunakan oleh suku pedalaman masih murni dan indah. Pada masa itu orang-orang Arab percaya pada ‘kekuatan’ bahasa. Mereka yang menguasai bahasa secara fasih dan sempurna, dipercayai akan mampu menjadi pemimpin tangguh dan sukses. Sehingga tidak heran, bila profesi penyair menjadi salah satu profesi terhormat pada masa itu. Karena buta huruf masih menguasai semenanjung Arab, para penyair akan menyampaikan syair mereka dengan keras.
Diasuhnya Nabi Muhammad kecil di lingkungan pedalaman memberi kontribusi yang amat besar bagi pemahaman akan ‘bahasa’ Allah lewat wahyu yang diturunkan kepada beliau. Selain terserapnya segala kebaikan dari sifat bangsa Badui gurun, tentu saja. Sebagai insane yang diasuh dan dididik dengan kualitas bahasa yang baik, Nabi Muhammad akan mampu mengejawantahkan wahyu-wahyu Tuhan yang ‘Empunya’ bahasa-bahasa. Ia akan fasih berbicara dengan kaumnya. Bukahkah sebagai Nabi kelak, dirinya dituntut untuk mampu memahami apa-apa yang diwahyukan Allah dan mengkomunikasikannya kembali dalam bahasa yang sama kepada umatnya? (Kelak, setelah menjadi Rasul, Nabi Muhammad sering mangatakan, “Aku yang paling fasih diantara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh ditengah-tengah keluarga Sa’ad bin Bakar.” Barang kali, inlah ibrah dibalik pengasuhan Nabi Muhammad di daerah pedalaman.
Bagaima pun juga, bangsa Badui, dengan kecenderungan membangkitkan potensi dalam diri manusia, bagai menganut paham humanis yang mudah terpanggil pada kebenaran. Dan semua itu diserap dan direkam dalam otak Muhammad kecil. Lebih dari 15 abad kemudian, ilmu psikologi membuktikan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang paling mudah dalam menanamkan perilaku dan segala macam kebaikan (masa-masa emas).
Periode 5 tahun pertama dalam kehidupan manusia dipercaya merupakan masa amat berharga untuk melejitkan potensi dirinya. Baik potensi keceerdasan otak meupun kecerdasan emosi. Dan tentu saja masa ini pun merupakan kesempatan amat istimewa untuk menanamkan ketauhidan atau memompa spiritualisme seseorang. Tidak meleset sedikit pun desain Allah yang telah menempatkan Nabi Muhammad untuk menjalani kehidupan masa kecilnya di pedalaman. Lingkungan yang menjaga dan akhlak yang terpuji menjadi dasar bagi perkembangan mental spiritual Nabi Muhammad. Kelak, dasar-dasar sifat yang terbentuk ini ikut melejitkan kecerdasan spiritualisme beliau dalam mengelaborasikan ketauhidan dalam dirinya. Masa-masa ketika beliau mulai menyendiri di gua Hira’, menghabiskan malam pnuh kesunyian untuk mencari siapa Tuhannya.
Sejarah mencatat hidup di pedalaman bersama Halimah dan keluarganya terjadi sampai Nabi Muhammad berusia 5 atau 6 tahun. Dalam kurun waktu inilah terjadi sebuah peristiwa yang menjadi salah satu kisah fenomenal yang terjadi pada kisah hidup Nabi Muhammad, yaitu kisah pembelahan dada beliau. (Lebih detail baca pada tulisan sebelumnya “Rasulullah diasuh oleh Halimah”). Inilah persiapan spiritual yang melalui proses fisik empiris, sehingga mudah dipahami oleh umat Islam kelak ketika menyikapi cerita ini. Semacam operasi pembersihan spiritual yang diyakini sebagai tanda awal dari persiapan kenabian Muhammad.
Sumber:
Annemarie Schimmel. Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Penghormatan terhadap Nabi Saw dalam Islam. Mizan: Bandung. 1992. hlm. 85
Karen Amstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Risalah Gusti: Surabaya. hlm. 64 dan 89
Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Litera Antar Nusa: Bogor. 2003. hlm. 53
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy. Sirah Nabawiah, Analisis Ilmiah Manhajiah:
0 komentar:
Posting Komentar