Banyak orang yang menganggap masa pemerintahan Umar bin Khattab adalah masa ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Pantas dikatakan demikian karena kedaulatan umat Islam meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di Utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Bukan hanya itu, negeri yang ditaklukan pun bukan negeri sembarangan, Romawi dan Persia yang sedang berada dalam masa jayanya.
Namun kehebatan umat Islam ketika itu tidak semata-mata karena kehebatan strategi dan keberanian berperang. Tapi juga didukung oleh stabilitas dalam negeri umat Islam yang kondusif. Umar bin Khattab mampu menciptakan atmosfir pemerintahan yang demokratis, transparan dan penuh ketaatan tehadap Allah SWT. Umar bin Khattab menciptakan sistem pemerintahan yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh negeri manapun, termasuk Romawi dan Persia. Umar bin Khattab menciptakan sistem kas Negara (Baitul Maal), sistem penggajian pejabat Negara dan kontrak resminya sebagai pejabat Negara, sistem check and balance antara eksekutif dan yudikatif, dan lain-lain.
Maka pantas setiap penaklukan dan perluasan wilayah tidak menimbulkan konflik baru. Setiap wilayah baru tetap terjaga stabilitas dan integrasinya, karena sistem dan kontrol yang baik dari Umar bin Khattab sebagai pemimpin tertinggi Negara.
Perluasan Wilayah kedaulatan
Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.
Pembentukan Atmosfer Demokrasi
Di awal pembaitannya sebagai khalifah Umar bin Khattab berpidato di depan kaum muslimin, dia berkata:
“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.” Lalu ia menengadah ke atas dan berdoa: “Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, aku ini kikir, maka jadikanlah aku orang yang drmawan bermurah hati.” Umar berhenti sejenak, menunggu suasana lebih tenang. Kemudian ia berkata: ”Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan pada mereka.”
Dalam pidato awal kepemimpinannya itu Umar tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari umat Islam lainnya, justru Umar menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu kali Umar berpidato di depan para Gubernurnya: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”
Dalam pidato awal itupun Umar menegaskan bahwa semua orang sejajar di mata hukum, bahwa yang berbuat kebaikan akan mendapat kebaikan dan yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai kadarnya, tidak memandang siapa dan seberapa kaya. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.
Bukan hanya itu, Umar bin Khattab membuka keran pendapat seluas-luasnya. Umar dengan lapang dada mendengarkan kritik dan saran dari rakyatnya. Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.
Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan dan Dewan Pertimbangan
Musyawarah bukan bentuk pembatasan wewenang khalifah dalam memimpin kaum muslimin seperti dalam pengertian parlemen sekarang ini. Musyawarah dilakukan sebagai upaya mencari ke-ridho-an dan keberkahan Allah dalam setiap pengambilan kebijakan negara. Keputusan tertinggi tetap berada ditangan khalifah.
Nabi saw sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan musyawarah, kecuali yang sifatnya wahyu dari Allah SWT. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum atau majelis permusyawaratan yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sifatnya insidental dan melibatkan banyak orang yang mempunyai kompetensi akan masalah yang sedang dibicarakan. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.
Pembentukan Lembaga Peradilan yang Independent
Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.
Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakkan hukum. Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori tentang trias politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal tersebut. Cuma perbedaannya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tp Umar menerapkan dalam pemerintahannya. Sebagaimana yang pernah Umar sampaikan di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.” Umar mendidik rakyatnya dengan perbuatan dan contoh, bukan dengan teori dan kata-kata.
Sistem Monitoring dan Kontroling Pemerintah Daerah
Wilayah kedaulatan umat Islam yang semakin meluas mengharuskan Umar bin Khattab sebagai khalifah melakukan monitoring dan kontroling yang baik terhadap gubernur-gubernurnya. Sebelum diangkat seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Lalu dibuat daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.
Selain itu Umar mengangkat seorang penyidik keliling, dia adalah Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.
Pembentukkan Lembaga Keuangan (Baitul Maal)
Umar bin Khattab menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.
Kas negara dipungut dari zakat, Kharaj dan jizyah. Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi dan Jizyah atau pajak perseorangan. Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Umar bin Khattab menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.
Pendapat Umar terhadap uang rakyatpun sangat keras, Umar berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Maal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”
Dalam penggunaan anggaran kas negara ini, Umar membentuk Departemen-Departemen yang dibutuhkan, contohnya Departemen Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pertanian. Departemen Kesejahteraan Rakyat dibentuk untuk mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Di bidang pertanian Umar memperkenalkan reform (penataan) yang luas, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap.
Hal Lainnya
Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”
Umar bin Khattab merupakan Khalifah yang sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.
Posted by denisahmaulana
Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar